MAKALAH PENYELAMATAN HUTAN
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I. PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Tujuan 4
C. Batasan Masalah 4
BAB II. PEMBAHASAN 10
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati 10
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan 12
C. Pengelolaan Hutan Tanaman 15
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis 18
BAB III. PENUTUP 26
A. Kesimpulan 26
B. Kritik Dan Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27
BAB I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Landasan pembangunan kehutanan adalah Pasal 33, Ayat 3, Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945, yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanatkan
bahwa titik berat Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) diletakkan pada
bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan
kualitas sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling
terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilaksanakan
seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi
dalam rangka menca¬pai tujuan dan sasaran pembangunan nasional.
Pembangunan kehutanan mencakup semua upaya untuk memanfaatkan dan memantapkan
fungsi sumber daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta
ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari
keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian,
pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup,
pembangunan ekonomi dan kesejahte¬raan sosial, baik di dalam maupun di luar
hutan negara. Menurut fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan
produksi yang dapat dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka
alam dan hutan wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang
diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh
dunia usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi
hutan yang telah dite¬tapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau
kebun kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya,
yang disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan usaha rakyat
dalam kehutanan tumbuh dengan baik. dan sumber daya alam hayati lain serta
ekosistemnya, baik sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan dan pelestari
keanekara¬gaman hayati maupun sebagai sumber daya pembangunan. Dengan demikian,
pembangunan kehutanan mencakup aspek pelestarian fungsi lingkungan hidup,
pembangunan ekonomi dan kesejahte¬raan sosial, baik di dalam maupun di luar
hutan negara. Menurut fungsinya, hutan terbagi ke dalam hutan produksi, hutan
produksi yang dapat dikonversi (hutan konversi), hutan lindung, hutan suaka
alam dan hutan wisata. Hutan negara adalah hutan milik negara yang
diperuntukkan bagi hutan dan kegiatan kehutanan dan dapat dikelola baik oleh
dunia usaha, masyarakat maupun oleh pemerintah sesuai dengan tujuan dan fungsi
hutan yang telah dite¬tapkan. Selain hutan negara terdapat pula hutan atau
kebun kayu yang dibangun oleh rakyat atau masyarakat di atas tanah miliknya,
yang disebut hutan milik atau hutan rakyat. Pemerintah memberi¬kan pula
bimbingan teknik dan menciptakan iklim yang sehat dalam pengelolaan hutan yang
dilakukan oleh masyarakat sehingga kemandirian dan pengembangan usaha rakyat dalam
kehutanan tumbuh dengan baik.
B. TUJUAN
Hutan mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di
bumi ini, baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara
lain, penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya, rekreasi dan
pengaturan bagi ekosistem tanah, udara dan air, tempat tumbuh berkembangnya
keanekaragaman hayati, sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon
monooksida menjadi oksigen segar yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia.
Dampak dari aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah mengganggu
keseimbangan daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami
penurunan kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi
yang berlebih (overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan
menjadi hutan produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman).
Tetapi tekanan aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi
seperti pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi
(jalan, jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian
(misalnya program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran
hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan fungsi
hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan
keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air
dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip-prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang
untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan
global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi
pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis
hutan.
C. BATASAN MASALAH
Meskipun dihadapkan pada berbagai masalah, pembangunan kehutanan selama PJP I
telah memberikan sumbangan yang besar dalam pembangunan nasional. Peranan hutan
menjadi semakin penting terutama hasil hutan yang diolah sebagai komoditas
ekspor. Dalam PJP II mendatang, diperkirakan pembangunan kehutanan akan
menghadapi berbagai tantangan dan kendala, di samping ada pula peluang.
1. Tantangan
Luas kawasan hutan negara di Indonesia adalah 140,4 juta hektare, yang terdiri
atas 30 juta hektare hutan lindung, 19 juta hektare kawasan konservasi alam dan
hutan wisata, 64 juta hektare hutan produksi dan 27,4 juta hektare hutan
produksi yang dapat dikonversikan. Hutan produksi, hutan lindung dan kawasan
konservasi alam tersebut membentuk kawasan hutan tetap seluas 113 juta hektare.
Batas kawasan hutan negara tersebut baru 32 persen yang telah selesai
dikukuhkan. Sementara itu, pembangunan di berbagai sektor terus meningkat dan
perubahan¬perubahan penggunaan lahan berlangsung cepat. Untuk keperluan
tersebut disediakan kawasan hutan konversi. Meskipun demikian, perkembangan
yang cepat dan Batas hutan yang belum tetap tersebut membawa ketidakpastian
batas-batas kawasan hutan negara dan ketidakpastian usaha di bidang kehutanan
dan di berbagai bidang lain yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Hal
ini menimbulkan disinsentif bagi pengembangan upaya pelestarian hutan. Pada
tahun 1993, dari 113 juta hektare kawasan hutan tetap hanya 92,4 juta hektare
yang masih berhutan utuh. Karena itu, maka tantangan pertama pembangunan
kehutanan dalam PJP II adalah peningkatan mutu hutan alam, rehabilitasi hutan
alam yang rusak dan pemantapan kawasan hutan tetap agar fungsi hutan dalam
mendukung pembangunan berkelanjutan dapat ditingkatkan.
Pada tahun 1993 produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
nasional diperkirakan mencapai 31,8 juta meter kubik dan meningkat menjadi
40,23 juta meter kubik pada tahun 1998, yang terdiri atas produksi lestari
hutan alam sebesar 22,46 juta meter kubik per tahun, produksi dari areal hutan
konversi sebesar 3,20 juta meter kubik per tahun, panen dari HTI sekitar 5,37
juta meter kubik, dan potensi kayu yang dihasilkan dari hutan rakyat dan
perkebunan sebesar 9,20 juta meter kubik per tahun.
Kemampuan hutan untuk menghasilkan terus menurun karena gangguan dan kerusakan.
Kemampuan untuk mengembangkan hutan baru masih amat sedikit, sedangkan
kebutuhan akan hasil dan jasa hutan untuk pembangunan dan pelestarian fungsi
lingkungan terus meningkat. Di lain pihak, dalam pengelolaan hutan dan
pengolahan hasil hutan masih terdapat banyak limbah baik dihitung secara
kuantitatif maupun secara kualitatif. Kayu bernilai tinggi diolah untuk
produksi yang bernilai rendah dan tebangan hutan juga masih menghasilkan banyak
sisa kayu yang ditinggalkan membusuk di hutan. Oleh karena itu, tantangan kedua
pemba¬ngunan kehutanan dalam PJP II adalah meningkatkan efisiensi dan
produktivitas pengelolaan hutan alam dan industri pengolahan hasil hutan agar
lebih hemat dalam penggunaan hutan dan hasil hutan, meningkatkan mute hutan dan
hasil industrinya, serta meningkat¬-kan pelestarian fungsi hutan.
Dalam upaya meningkatkan produksi kayu untuk memenuhi kebutuhan industri
kehutanan, di samping peningkatan mutu hutan alam dikembangkan pula HTI dan
hutan rakyat. Dalam pengem¬bangan hutan tanaman ini, terutama pengembangan HTI,
sering¬- kali digunakan jenis tanaman dan teknologi yang kurang mendukung upaya
pelestarian lingkungan hidup, misalnya penggunaan jenis tanaman dan teknologi
yang tidak sesuai dengan keadaan ekologi dan sistem sosial setempat dan
konversi hutan alam yang mengurangi keanekaragaman hayati.
Seperti halnya dengan hutan alam, hasil hutan berupa kayu yang dihasilkan dari
hutan rakyat dan kebun campuran milik rakyat juga semakin berkurang karena
luasan lahan yang makin sempit, sedangkan kebutuhan masyarakat semakin
meningkat. Kekurangan ini seringkali ditutup dari hasil kayu di kawasan hutan
negara yang dipungut tanpa memperhatikan kelestarian hutan sehingga menimbulkan
kerusakan fungsi hutan alam. Oleh karena itu, tantangan ketiga dalam hal ini
adalah mengembangkan hutan tanaman baru, baik HTI maupun hutan rakyat, yang
serasi dengan lingkungan hidup sekitarnya dan meningkatkan produktivitas dan
nilainya sehingga tercipta tambahan penghasilan yang tinggi bagi masyarakat
terutama di daerah kritis, sekaligus juga dalam rangka meningkatkan mutu
lingkungan hidup.
Investasi dan peran serta swasta dalam bidang kehutanan sebagian besar
ditanamkan pada kegiatan pembalakan hutan pro¬duksi alam. Investasi tersebut
pada dasarnya lebih bersifat inves¬-tasi untuk memanen stok tegakan hutan,
bukan membangun hutan baru. Luasnya kawasan hutan tetap yang tidak berhutan,
yaitu sekitar 20,6 juta hektare menunjukkan besarnya kerugian potensi usaha
nasional sebagai akibat kerusakan sumber daya hutan. Oleh karena itu, tantangan
yang keempat adalah meningkatkan kemam¬puan dunia usaha swasta dan masyarakat
untuk mengembangkan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan dengan sistem
silvi¬kultur dan sistem sosial-ekonomi yang tepat.
Masyarakat di sekitar dan di dalam hutan pada umumnya tergolong ke dalam
golongan masyarakat tertinggal. Kondisi sosial ekonomi golongan masyarakat ini
pada umumnya adalah tergolong miskin. Pemanfaatan hutan oleh pemegang HPH
sering mengabai¬kan kepentingan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan
terha¬dap sumber daya hutan. Hal ini menyebabkan akses penduduk tersebut kepada
manfaat hutan menjadi sangat terbatas. Masyara¬-kat sekitar hutan juga kurang
mampu memanfaatkan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha yang berkaitan
dengan usaha kehu¬tanan tersebut, sehingga kesenjangan status ekonomi antara
penduduk asli setempat dengan penduduk yang berasal dari luar menjadi semakin
tinggi yang kemudian meningkatkan kecembu¬-ruan sosial. Kecemburuan sosial dan
kemiskinan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan ini sering menjadi penyebab
kerusakan hutan yang mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati
serta ekosistemnya. Oleh karena itu, tantangan kelima dalam pembangunan
kehutanan adalah membangun peranan kehu¬tanan yang lebih baik untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk miskin di sekitar dan di dalam hutan
melalui pengembangan usaha produktif yang didasarkan kepada kemitraan yang
mantap, denga sekaligus meningkatkan pendapatan daerah, terutama pendapatan
daerah-daerah yang tertinggal.
Sebagian besar hasil industri kehutanan Indonesia seperti kayu lapis ditujukan
untuk diperdagangkan di pasar ekspor. Perda¬gangan internasional pada masa
datang akan mengarah pada pola perdagangan yang makin kompetitif dengan arus
globalisasi yang makin cepat. Di samping itu masyarakat internasional menilai
bahwa pemanfaatan hutan tropis secara berlebihan mengakibatkan gangguan
terhadap lingkungan global. Hal ini menimbulkan dorongan dalam perdagangan kayu
tropis yang berwawasan ling¬kungan. Oleh karena itu, tantangan keenam dalam
pembangunan kehutanan adalah mengembangkan hasil hutan untuk ekspor yang
berasal dari hutan yang dikelola secara lestari.
Organisasi kehutanan pada waktu ini terdiri atas organisasi daerah tingkat I
dan pusat. Kegiatan kehutanan yang semakin meningkat yang berkaitan dengan
industri yang berorientasi ekspor telah membentuk kekuatan organisasi kehutanan
tingkat pusat, dan belum mengembangkan organisasi kehutanan di tingkat daerah.
Kesenjangan ini menimbulkan masalah yang berkaitan dengan kemampuan dan
kepedulian pemerintah daerah yang kurang memadai terhadap kelestarian hutan dan
pentingnya hutan untuk mendukung industri dan lingkungan hidup, sehingga
kerusakan hutan semakin sering terjadi. Oleh karena itu, tantangan ketujuh yang
dihadapi dalam pembangunan kehutanan adalah meningkat¬kan kemampuan,
kepedulian, dan peran pemerintah daerah dalam pelestarian fungsi hutan baik
sebagai sumber daya ekonomi maupun sebagai penyedia jasa lingkungan hidup.
2. Kendala
Untuk mencapai tujuan pembangunan kehutanan PJP II dan Repelita VI terdapat
berbagai kendala yang masih harus dihadapi dalam pengelolaan kehutanan di masa
depan baik dalam tata ruang kawasan hutan negara, infrastruktur, kelembagaan,
kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, maupun persepsi
masyarakat dan aparatur negara.
Hutan negara yang mencapai luas 140,4 juta hektare dengan berbagai bentuk
penggunaannya masih sangat sedikit diketahui batas-batasnya di lapangan.
Penataan ruang daerah yang belum mantap menyebabkan terjadinya tumpang tindih
dalam peman¬faatan kawasan hutan serta menyebabkan kesulitan dalam meman¬tapkan
sistem pengelolaan hutan secara lestari. Masih kurang mantapnya tata ruang
daerah tersebut menjadi kendala dalam pembangunan kehutanan yang berkelanjutan,
baik dari segi kepas¬tian usaha bagi dunia usaha kehutanan dan masyarakat
maupun dari segi pengawasan dan pengendalian pengusahaan hutan oleh pemerintah
dan organisasi masyarakat lainnya.
Kawasan hutan pada umumnya terdapat di daerah yang ter-pencil dengan keadaan
topografi yang berat sehingga upaya pe¬manfaatannya belum efisien. Pemanfaatan
hutan seringkali dilaku¬kan hanya di sekitar daerah yang mudah dicapai yang
sering menunjukkan gejala eksploitasi yang berlebihan dan merusak kele¬starian
hutan. Oleh karena itu, kondisi lapangan yang berat ser¬ingkali menjadi kendala
yang utama dalam pembangunan infras¬truktur untuk mendukung pengelolaan dan
pemanfaatan hutan yang produktif, efisien, dan berkelanjutan.
Hutan alam Indonesia sangat luas dan beraneka ragam serta tersebar di seluruh
kepulauan. Untuk meningkatkan pengelolaan¬nya diperlukan sumber daya manusia
yang berkeahlian, terampil, berdedikasi tinggi, tahan keterpencilan, dan
berjiwa pelopor. Kurangnya sumber daya manusia yang profesional dan berdedikasi
tinggi menjadi kendala yang berat dalam pembangunan kehutanan di masa depan,
terutama di kalangan dunia usaha kehutanan dan di daerah-daerah. Upaya
pelestarian hutan memerlukan ilmu dan teknologi yang tepat yang sesuai dengan
kondisi hutan yang beraneka ragam.
Pelestarian hutan juga memerlukan keserasian yang dinamis antara pengelolaan
hutan, perkembangan masyarakat dan penduduk, perkembangan industri kehutanan,
perdagangan dan pemanfaatan basil hutan. Sementara itu, penelitian yang telah
dilaksanakan pada waktu ini masih sangat terbatas karena berbagai kendala
seperti kurangnya tenaga peneliti yang ahli. Kemampuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang masih kurang ini akan menjadi kendala yang penting dalam
pembangunan kehutanan di masa depan.
Keadaan kelembagaan di bidang kehutanan dan berbagai bidang pendukungnya masih
belum sepenuhnya mampu mendu¬kung pengembangan sistem produksi kehutanan yang
tangguh dan lestari. Berbagai peraturan perundangan yang sudah ada pada umumnya
masih belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan keadaan
lapangan dan yang serasi dengan berbagai peraturan perundangan lainnya,
sehingga pelaksanaan pembangunan kehutanan seringkali berbeda dengan cita-cita
yang tertulis dalam peraturan perundangan yang pokok. Kelembagaan kehutanan dan
berbagai pendukungnya yang belum berkembang akan merupakan kendala yang berat
dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan sistem produksi
kehutanan dan dalam meningkatkan peran serta masyarakat di masa depan.
Kerusakan hutan disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor manusia dan
masyarakat yang masih belum memahami fungsi hutan dalam pembangunan nasional.
Demikian juga apara-tur pemerintah dan dunia usaha masih banyak yang belum
me¬mahami pentingnya pelestarian hutan dan belum melaksanakan upaya untuk
melestarikan fungsi hutan alam tersebut. Persepsi masyarakat, dunia usaha, dan
aparatur pemerintah yang masih sangat kurang ini merupakan kendala yang penting
dalam upaya meningkatkan pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan di masa
mendatang.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Pendekatan Ekologi dan Upaya Melindungi Keanekaragaman Hayati
Pendekatan ekologi
Ekologi membahas hubungan timbal balik antara manusia dangan lingkungan
hidupnya, dimana selalu terjadi interaksi antara keduanya. Interaksi itu
terjadi karena mereka saling membutuhkan, saling mempengaruhi, dan saling
membentuk.Karena itu sesungguhnya terdapat saling ketergantungan antara manusia
dengan lingkungan hidupnya. Selanjutnya manusia dengan lingkungan hidupnya
terdiri atas berbagai macam makhluk hidup beserta benda tak hidup membentuk
suatu ekosistem, dimana masing-masing merupakan suatu sub ekosistem yang
mempunyai fungsi masing-masing dalam satu kesatuan yang utuh. Kerusakan pada
salah satu sub ekosistem akan mempengaruhi ekosistem yang lain termasuk
manusia.
Dengan demikian, pendekatan ekologi dalam operasionalisasi CATUR PROGRAM
pembangunan Kabupaten Belu menuntut seluruh lembaga pemerintah, swasta, LSM dan
segenap warga masyarakat Kabupaten Belu untuk senantiasa memelihara kelestarian
lingkungan hidup dan keseimbangan ekosistem ( pembangunan yang berwawasan
lingkungan ). Pembangunan yang merusak lingkungan dan menganggu keseimbangan
ekosistem harus dicegah sehingga tidak mengakibatkan bencana bagi masyarakat
Kabupaten Belu kini dan generasi mendatang.
Cara Melindungi Keanekaragaman Hayati
Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan konservasi sumber daya
alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan
:
1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan,
2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati beserta ekosistemnya.
Usaha untuk memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya dari sumber-daya alam
sering mengakibatkan menurunnya kemampuan sumberdaya alam yang bersangkutan
bahkan terkadang dapat mengakibatkan kepunahan dari sumberdaya alam tersebut.
Belum semua sumber plasma nutfah yang ada di sekitar kita dapat dimanfaatkan.
Dengan usaha penelitian yang lebih baik di masa depan akan diketahui sumber
plasma nutfah bagi manusia yang dikembangkan pemanfaatannya. Khususnya pada
beberapa sumberdaya alam yang kini sudah diketahui manfaatnya namun masih belum
dapat diolah atau dibudidayakan.
1. Sampai saat ini masyarakat memanfaatkan sumberdaya alam dengan 3 cara yaitu:
2.
1. Memanfaatkan secara langsung sumberdaya alam hayati dari alam, sehingga
kesinambungan ketersediaannya semata-mata diserahkan kepada alam.
2. Cara pemanfaatan seperti ini hanya berjalan baik bila ada keseimbangan
antara eksploitasi atau pengambilan dan kecepatan tumbuh untuk memperbanyak
diri atau berkembang biak. Namun jika sebaliknya, maka tentu saja akan
mengancam sumberdaya alam hayati.
3. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan cara mengolah atau
membudidayakannya. Pada cara ini kesinambungan ketersediaannya tidak hanya
semata-mata tergantung pada alam akan tetapi ada usaha dari manusia untuk
menjaga dan memelihara kelestariannya.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa keanekaragaman hayati cenderung
menurun atau rusak, bahkan beberapa jenis sumberdaya alam hayati sudah
dinyatakan punah. Dalam skala internasional, kayu hitam dan burung Dodop dari
Mauritius sudah punah dari muka bumi. Di Indonesia Burung Gelatik (Padda
oryzovora) misalnya, merupakan fauna yang populasinya menurun. Sementara itu,
Harimau Jawa dan Harimau Bali sudah dinyatakan punah. Penurunan dan perusakan
diduga juga terjadi pada jenis flora dan fauna yang belum diketahui manfaatnya
secara langsung bagi kehidupan manusia atau yang belum diteliti fungsinya dalam
ekosistem.
Ekosistem hutan mengandung atau memiliki keanekaragaman jenis dan genetika yang
sangat tinggi. Akan tetapi ekosistem hutan mendapat tekanan terus-menerus
karena pemanfaatan ekosistem dan jenisnya yang mengancam kelestarian dari
keanekaragaman hayati tersebut. Eksploitasi hutan melalui kegiatan
pertambangan, konversi hutan menjadi lahan transmigrasi, pertanian dan
perkebunan akan mengakibatkan berkurangnya plasma nutfah. Dengan demikian
diperlukan adanya upaya perlindungan untuk mempertahankan agar keaneka-ragaman
genetik tetap tinggi sehingga pemanfaatannya tetap menggunakan prinsip lestari.
Perlindungan terhadap keaneka-ragaman hayati dapat diwujudkan dengan
mempertahankan serta tidak merubah fungsi ekologi suatu kawasan yang menunjang
habitasi flora dan fauna. Usaha perlindungan yang dimaksud adalah perlindungan
terhadap ekosistem hutan beserta seluruh jenis dan genetiknya. Konsep terbaru
strategi konservasi sedunia bertujuan untuk memelihara proses ekologi yang
esensial dan sistem pendukung kehidupan, mempertahankan keanekaragaman genetik
dan menjamin pemanfaatan jenis serta ekosistem secara lestari.
B. Rehabilitasi & Konservasi Sumberdaya Hutan
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber
daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi
di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya
pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan
dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak
lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan
prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan
luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah
ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga
ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan
air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui
pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan
konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.
Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas adalah kekhasan,
keterancaman, dan kegunaan. Beberapa pendekatan yang digunakan dengan
pendekatan jenis / spesies, pendekatan komunitas dan ekosistem, pendekatan
kawasan dan manusia. Penilaian kawasan konservasi berdasar Pedoman Penetapan
Kriteria Baku KKL yang dikeluarkan Ditjen PHPA (1995) :
Keterwakilan, keaslian dan kealamian, keunikan, kelangkaan, laju kepunahan,
keutuhan ekosistem, keutuhan sumberdaya,`luasan kawasan,`keindahan alam
,`kenyamanan,`kemudahan pencapaian nilai sejarah, kehendak politik, aspirasi
masyarakat. Kriteria umum penetapan kawasan konservasi dalam memilih calon
lokasi konservasi adalah dengan mempertimbangkan Kriteria Ekologi, Kriteria
Sosial, Kriteria Ekonomi, Kriteria Regional, dan Kriteria Pragmatik. Fungsi
penetapan kawasan konservasi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan,
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistem.
Pendekatan Penetapan Kawasan Konservasi:
1. Pendekatan admistratif dan hukumPendekatan fisik
2. Pendekatan ekologi, meliputi, keanekaragaman hayati, kondisi kealamian,
keunikan dan kelangkaan jenis, kerentanan kawasan, dan keterkaitan dengan
kawasan lain.
3. Pendekatan sosial budaya, meliputi, tingkat dukungan dan kepedulian
masyarakat, kepemilikan lahan, konflik kepentingan, kebudayaan, dan Keamanan.
4. Pendekatan ekonomi, meliputi, spesies ekonomis penting, kepentingan
perikanan, bentuk ancaman terhadap sumberdaya perairan, kawasan pesisir dan
pulau-pulau kecil.
5. Pendekatan kelembagaan, meliputi, keberadaan lembaga sosial, dukungan
infrastruktur sosial, dukungan pemerintah pusat dan atau daerah
Kelembagaan Kawasan Konservasi
Kriteria Kelembagaan dalam pengelolaan kawasan konservasi:
1. Kelembagaan Tingkat Nasional
2. Kelembagaan Tingkat Daerah
3. Kelembagaan Tingkat Lokal
4. Bentuk kelembagaan yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Daerah Tk.
II dengan menunjuk badan pengelola yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah
Tk. II.
5. Kawasan konservasi lokal (yang dikelola oleh komunitas masyarakat lokal).
Jenis Tujuan Pengelolaan
Taman Nasional Perairan (TNP) Kawasan konservasi perairan yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi, yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan yang menunjang perikanan
yang berkelanjutan, wisata perairan, dan rekreasi.
Suaka Alam Perairan (SAP) Kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu
untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistemnya.
Taman Wisata Perairan (TWP) Kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk
dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi.
Suaka Perikanan (SP) Kawasan perairan tertentu, baik air tawar, payau, maupun
laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung/berkembang biak
jenis sumber daya ikan tertentu, yang berfungsi sebagai daerah perlindungan.
Program Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air
Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam memulihkan dan
menjaga, serta meningkatkan kelestarian sumber daya hutan terutama di kawasan
lindung, sehingga fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan meningkat dan
lestari. Unsur sumber daya hutan dalam kegiatan ini mencakup hutan lindung,
Daerah Aliran Sungai (DAS), suaka alam dan ekosistem khas lainnya, taman
nasional, dan kawasan konservasi lainnya.
Kegiatan-kegiatan utama yang dilaksanakan, antara lain :
(1) memelihara fungsi dan kemampuan sistem tata air yang dikem¬bangkan secara
terpadu dengan pengelolaan DAS,
(2) membina dan mengembangkan taman nasional, taman buru, taman wisata, taman
hutan raya, pengelolaan hutan lindung,
(3) mengembangkan kawasan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
(4) membina dan mengembangkan pemanfaatan satwa,
(5) mem¬bina dan mengembangkan daerah penyangga,
(6) membina dan mengembangkan kawasan suaka alam,
(7) membina dan mengem¬bangkan konservasi eksitu,
(8) meningkatkan pelestarian keaneka¬ragaman hayati, dan
(9) melaksanakan pengamanan hutan terpadu dengan meningkatkan partisipasi aktif
masyarakat dan instansi terkait dengan sumber daya hutan, secara terkoordinasi
dengan aparat keamanan setempat.
C. Pengelolaan Hutan Tanaman
Jika untuk sementara kayu masih menjadi sasaran target utama produksi hutan,
maka segala aktivitas untuk peningkatan produk¬tivitasnya sudah semestinya
tetap berlandaskan kaidah ekosistem hutan atau berwawasan konservasi agar
pelestarian ekosistem hutan dalam jangka panjang dapat menjadi kenyataan.
Beberapa peluang pengelolaan hutan produksi yang berwawasan konservasi dapat
dilakukan dan disesuaikan pada setiap tipe hutan. Pengertian peluang disini
adalah kemungkinan penerapan metode ter¬tentu yang bukan saja untuk kepentingan
ekonomis sesaat (yang bisa merusak ekosistem hutan dalam jangka panjang) tetapi
juga mempertimbangkan aspek konservasinya. Untuk memudahkan pembahasan
dibedakan antara pengelolaan hutan produksi alam dan tanaman.
I. Pengelolaan Hutan Alam
Hampir seluruh hutan alam termasuk dalam eko¬sistem hutan tropika humida dengan
sederet atribut yang melekat padanya dan dikenal dengan ekosistem yang rapuh
(fragile ecosystem). Dalam perjalanan pengelo¬laannya sampai saat ini kondisi
hutan sudah banyak mengalami kerusakan, akibat eksploitasi yang berlebihan,
alih fungsi, kebakaran, penjarahan dan sebagainya. Kegiatan pengusahaan hutan
selama ini ternyata telah menyebabkan terjadinya penurunan areal dan kualitas
hutan yang berdampak jumlah kayu tersedia untuk panenan siklus tebang kedua
jauh lebih rendah dari yang diharapkan.
Ragam ekosistem hutan alam sangat tinggi, baik dalam volume standing stock,
komposisi, faktor lingkungan dan sebagainya, sehingga memerlukan penanganan
yang berbeda pula. Kebijakan pengelolaan hutan alam yang berlaku saat ini
(Tebang Pilih dan Tanam Indonesia – TPTI) menetapkan sistem pemanenan yang
seragam untuk areal hutan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa memperhatikan
tipe dan kondisi hutannya. Intensitas penebangan ditetapkan dengan batas
diameter minimum 40 cm untuk hutan rawa, 50 cm untuk hutan Dipterocarp dataran
rendah serta 60 cm untuk areal hutan produksi terbatas dengan kelerengan
melebihi 40%. Sistem ini telah mengakibatkan pemanenan berlebih di banyak
areal, sehingga hutan tidak dapat pulih dalam waktu 35 tahun untuk dapat
menghasilkan kayu pada rotasi kedua.
Keanekaragaman jenis sangat tinggi membentuk struk¬tur tertentu baik secara
vertikal (stratifikasi tajuk dan atau perakaran) maupun horizontal. Mekanisme
in¬ternal untuk mendapatkan stabilitas ekosistem justru diperoleh dari aspek
ini.
Hutan primer saat ini telah hampir habis dan pada pengelolaan selanjutnya sudah
harus beralih ke hutan bekas tebangan dan atau hutan tanaman. Karena itu upaya
peningkatan produktivitas dengan input energi (biaya) serendah-rendahnya dan
tanpa merugikan lingkungan (tetap berwawasan konservasi) sangat di¬perlukan.
Sistem silvikultur yang digunakan hampir seluruhnya adalah TPTI (Tebang Pilih
Tanam Indonesia) dengan satu aturan untuk seluruh hutan alam di Indonesia,
walaupun sistem ini adalah sistem silvikultur yang relatif paling aman untuk
diterapkan dibanding yang lain dalam hal jasa lingkungannya.
Tidak ada batasan maksimum jumlah volume kayu atau jumlah batang yang dapat
ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit areal
dapat mengakibatkan terciptanya kondisi yang mengganggu pertumbuhan jenis-jenis
kayu komersial.
Sesuai dengan situasi saat ini hutan dituntut untuk memberikan produk yang
selalu meningkat, kelestarian yang tetap terjamin dan masukan biaya yang
rendah. Pemenuhan tuntutan ini sungguh tidak mudah namun tampaknya tidak ada
pilihan lain kecuali harus terus mencari peluang untuk mendapatkan tujuan yang
diinginkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Sesuai dengan ragam hutan alam yang tinggi maka perlu penerapan peraturan
(sistem silvikultur dan aturan pengelolaan lainnya) yang berbeda, setidaknya
dibedakan pada level propinsi.
2. Kemampuan optimal suatu ekosistem hutan bukan hanya kayu, karena itu
penentuan AAC seyogyanya tidak hanya mendasarkan pada produksi kayu saja.
Karena itu diperlukan reorientasi pemikiran baru untuk mendapatkan
produktivitas hutan yang optimal. Pola konsumsi produk hasil hutan dalam bentuk
apapun harus didasarkan pada kemampuan ekosistem hutan yang dimaksud.
3. Dengan mulai habisnya hutan primer, maka penge¬lolaan hutan alam akan
beralih ke hutan bekas tebang¬an. Jika diasumsikan tidak ada tebangan cuci
mangkok (tebang ulang sebelum waktunya) hutan bekas tebang¬an perlu dipelihara
untuk terus meningkatkan produk¬sinya atau setidaknya kembali ke keadaan
semula, apalagi yang karena sebab tertentu tebang ulang tam¬paknya tidak bisa
dihindari. Karena itu pemeliharaan hutan menjadi aspek yang sangat penting.
Namun jika kegiatan pemeliharaan hutan ini didasarkan pada sistem silvikultur
TPTI hasilnya tidak efisien (Marsono: 1997). Di antara kegiatan pemeliharaan
bekas tebangan yang berupa perapihan, pembebasan pertama, peng¬adaan bibit,
pengayaan, pemeliharaan tanaman, pem¬bebasan kedua dan ketiga, dan penjarangan
tajuk, hanya penjarangan tajuklah yang secara langsung memberikan percepatan
pertumbuhan tegakan tinggal paling efektif. Hal ini terjadi karena tindakan
pen¬jarangan memberikan ruang tumbuh optimal bagi po¬hon binaan yang terdiri
dari pohon inti dan permudaan tingkat dibawahnya. Kegiatan ini hanya terbatas
pada pohon-pohon future harvest saja dan pada tingkat per¬tumbuhan tertentu
yang paling responsif terhadap perlakuan ini, sehingga input biaya sangat
rendah. Sementara itu pohon pendamping tetap berfungsi se¬bagai pembentuk
struktur sehingga terus memberi¬kan jasa lingkungan dan atau atribut
fungsionalnya (tetap berwawasan konservasi), dan sangat efisien karena
menghilangkan banyak pekerjaan dan biaya yang sebenarnya tidak diperlukan.
4. Dalam jangka panjang sudah harus mulai dipikirkan untuk mengelola hutan
berdasarkan konsep kesesuai¬an lahan. Dengan berbasis pendekatan ekosistem,
pe¬ngelolaan hutan produksi didasarkan pada unit-unit ekologis yang merupakan
resultante dari seluruh fak-tor lingkungan (biofisik) sehingga terbentuk
kesatuan pengelolaan yang berkemampuan sama baik produk¬tivitas maupun jasa
lingkungannya
5. Introduksi sistem silvikultur atau sistem baru lainnya yang sekiranya
menjanjikan produksi hendaknya di¬kaji lebih mendalam terlebih dulu agar
kerusakan hu¬tan dapat lebih dibatasi
6. Keberhasilan pengelolaan konservasi di hutan ini sa¬ngat tergantung sumber
daya manusianya, karena itu penyiapannya perlu dilakukan dengan
sebaik-baik¬nya.
II. Pengelolaan Hutan Tanaman
Pada prinsipnya hutan tanaman secara ekologis adalah bentuk simplifikasi sistem
alam dengan tuntutan ekonomis sebagai pengendali utama. Pengembangan lebih
lanjut terhadap motivasi ekonomis tersebut dilaku¬kan dengan simplifikasi
berbagai komponen sistem antara lain jenis (jenis yang bergenetis baik),
bentukan struktur (stratifikasi tajuk dan atau perakaran), input energi (biaya)
dan penggantian natural stabilizing factor (homeostasis ekosistem) dengan
chemical stabilizing factor (pupuk, pesti¬sida dan lain-lain). Keseluruhan
manipulasi ini dikemas dalam bentuk metode dan sistem silvikultur dengan
out¬put utama produktivitas. Jika prinsip hutan tanaman ma¬sih tetap seperti
ini maka pelestarian jangka panjang akan diragukan, atau pada suatu saat secara
finansial akan akan tidak ekonomis lagi, karena harus menanggung beban atribut
fungsional yang sudah tidak berjalan lagi. Dalam sudut pandang lain dapat
dikatakan bahwa integritas eko¬sistem tidak dapat dipertahankan lagi, kaidah
ekosistem hutan menjadi hilang, terfragmentasi, sehingga memacu parahnya water
yield dan kualitas air, sempitnya ruang gerak satwa, tererosinya sumber daya
genetik dan penu¬runan produktivitas hutan dalam jangka panjang
(Soe¬kotjo:1999).
Beberapa contoh kasus mundurnya hutan tanaman yang kurang memperhatikan wawasan
konservasi telah disebutkan di muka yaitu antara lain penurunan produk¬tivitas,
penurunan bonita pada areal tertentu dan sebagai¬nya. Di Philipina, penanaman
hutan monokultur (Leucaena leucocephala) pada kelerengan 36 – 50 % terjadi
kebocoran fosfat pada neraca hara yang dibuatnya sebesar 56,76 kg/ ha/th,
sementara pada grassland area dengan kelerengan yang sama diperoleh saldo
sebesar 35,43 kg/ha/th. Keadaan yang hampir sama dilaporkan dari India berasal
dari hutan tanaman cepat tumbuh dan eksot (Eucalyptus sp. dan pinus) yang
ditanam monokultur, tidak berwawasan konservasi men¬jadi bencana besar bagi
pelestarian lingkungan. Bencana kekurangan air terjadi karena konsumsi air
sangat tinggi untuk pertumbuhan (1,41 dan 8,87 mm per gram biomasa kering untuk
eucalyptus dan pinus) dan kemunduran kualitas tempat tumbuh (Shiva &
Bandyopadhyay: 1983). Kemudian tahun 1985 FAO (Food and Agriculture
Organi¬zation of The United Nations) juga melaporkan kondisi se¬rupa di banyak
negara seperti Brazil, Australia, Malawi dan Afrika Selatan (Poore & Fries:
1985).
Dengan penekanan hutan produksi untuk berfungsi ekonomis yang
setinggi-tinggi¬nya maka telah terjadi bahwa hutan tanaman dianggap
kurang/tidak memperhatikan aspek konservasi, sehingga memunculkan isu penting
sebagai berikut:
a. Simplifikasi ekosistem hutan secara berlebihan se¬hingga struktur hutan yang
terbentuk selalu mono¬kultur. Struktur hutan ini memutus sama sekali kaidah
ekosistem hutan sehingga atribut fungsional ekosistem tidak operasional
b. Stabilitas hutan menjadi rendah (natural stabilizing factor tidak
berfungsi), sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor
yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan
c. Kemunduran site quality / bonita / tapak hutan. Banyak lahan hutan tanaman
yang mengalami kemunduran ta¬pak hutan yang ditandai dengan penurunan
produk¬tivitas atau kejemuan jenis tertentu sehingga harus di¬ganti dengan
jenis tanaman lain
d. Faktor hidroorologi belum/tidak mendapatkan perhatian yang memadai. Hal ini
dapat dilihat pada besar dan frekuensi banjir hampir setiap sungai yang ada
pada setiap musim penghujan. Akan tetapi sebaliknya pada musim kemarau banyak
sungai yang debitnya sangat kecil dan bahkan kering tidak berair.
Dalam jangka panjang harus sudah dimulai penge¬lolaan hutan berdasarkan
kesesuaian lahan, membentuk unit-unit ekologis berdasarkan kaidah ekosistem
yang mempunyai respon yang sama baik dalam produktivitas maupun jasa
lingkungannya. Aspek ini tampak semakin penting belakangan ini terutama bila
dikaitkan dengan desakan pihak lain untuk menyelenggarakan agribisnis di areal
hutan produksi. Terlepas dari berbagai faktor yang berpengaruh mulai dari
politik, sosial, ekonomi dan ke-lembagaannya, masalah ini dapat didekati dengan
me¬nyusun klasifikasi lahan yang baik, agar dapat dideliniasi dengan jelas
kawasan-kawasan yang bisa ditolerir untuk agribisnis dan kawasan yang harus
dilakukan pengelola¬an hutan berbasis konservasi, sehingga kualitas lingkung¬an
yang menjadi tanggung jawab hutan produksi dapat tetap dipertahankan.
Dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya hutan, upaya konservasi sumber
daya alam telah ditingkatkan. Usaha konservasi ini mencakup kegiatan konservasi
di dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan. Termasuk di dalamnya
pengembangan taman nasional dan hutan lindung yang didukung oleh pengembangan
dan pembinaan wisata alam, pembinaan cinta alam dan monitoring 1iampak
lingkungan, perlindungan dan pengamanan hutan serta pengembangan sarana dan
prasarana. Sampai dengan tahun 1993 telah terbentuk 31 taman nasional dengan
luas kawasan sebesar 7,9 juta hektare dan kawasan konservasi alam yang sudah
ditetapkan seluas 14,6 juta hektare.
Sejalan dengan usaha konservasi, upaya reboisasi dan rehabi¬litasi lahan juga
ditingkatkan. Tujuan upaya reboisasi dan rehabi¬litasi adalah untuk memulihkan,
mempertahankan dan meningkat-kan produktivitas sumber daya hutan, tanah dan
air. Kegiatan reboisasi dan rehabilitasi lahan dilaksanakan melalui
pengem¬-bangan HTI, pengendalian perladangan berpindah, peningkatan kegiatan
konservasi tanah, dan pengembangan hutan rakyat serta perhutanan sosial.
D. Hak Pengusahaan Hutan dan Rehabilitasi Lahan Kritis
Dari Repelita hingga masa Reformasi”
Pada tahap awal pembangunan nasioal (repelita), pemerintah memfokuskan kebijakannya
untuk mengumpulkan devisa sebanyak-banyaknya dari ekstraksi hutan diluar jawa,
melalui ekspor log (kayu bulat) dan hutan menjadi agen pembangunan selama tiga
dasawarsa.
Hak Pengusahaan Hutan (HPH) adalah izin yang diberikan untuk melakukan
pembalakan mekanis diatas hutan alam yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan
pemerintah No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan
Hasil Hutan. Pada waktu yang bersamaan, sistem budaya hutan disempurnakan
melalui penerbitan Pedoman Tebang Pilih Indonesia, yang kemudian disempurnakan
lagi menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia.Pada tahun 1969 sampai 1974, sekitar
11 juta hektar konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) diberikan hanya disatu
Provinsi, yaitu Kalimantan Timur. Produksi kayu bulat melonjak menjadi 28 juta
meter kubik. Sekitar 75 persen diantaranya eksport.
Pendapatan kotor devisa dari sektor kehutanan melonjak dari US$ 6 juta tahun
1969 menjadi US$ 564 juta tahun 1974. Kayu-kayu tersebut diekspor dalam bentuk
log, diantaranya ke Jepang 5,5 juta M3 per tahun, Australia 2,2 juta m3, Afrika
Selatan 4 juta M3 dan Eropa 10 juta m3 pertahun.
Pada tahun 1979, Indonesia menjadi produsen terbesar kayu bulat tropis didunia,
menguasai 41 % pangsa pasar dunia (2,1 miliar dollar). Kayu tersebut diekspor kemaca
negara seperti: Inggris, Jerman Barat, Benelux, Perancis, Autralia, Jepang,
Hongkong dan China. Pada masa itu pula, hutan menjadi urutan kedua setelah
minyak sebagai penyumbang terbesar perekonomian nasional.
Pada tahun 1994, sepuluh kelompo perusahaan HPH terbesar mengontrol 28,18 juta
hektar (45 %) konsesi HPH di negara ini.Perusahaan ini kemudian membentuk
kartel (APINDO) yang membuat Indonesia menjadi produsen kayu lapis terbesar
didunia dan berhasil meningkatkan harga kayu lapis internasional, dan
mendapatkan penghasilan sebesar 5,5 miliar dollar, atau setara dengan 15% dari
keseluruhan pendapatan ekspor. Tahun 1995, sekitar 585 konsesi HPH melakukan
pembalakan diatas 62,5 juta ha diseluruh Indonesia. Menyita lebih dari 62,5
juta hektar (49%) hutan alam yang selanjutnta disebut “hutan negara”. Sekitar
28,18 juta hektar dikuasai oleh 10 perusahaan.
Pada tahun 1996, pemegang HPH berjumlah 445 menguasai areal seluas 54 juta
hektar lebih, hampir 50% masih dikuasai 10 perusahaan besar yang sama. Namun demikian,
pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian disebabkan
karena pelanggaran hukum dan menurunnya nilai tegakan pohon. Dalam prakteknya,
pencabutan izi lebih dari 100 HPH tidak berarti mereka menghentikan kegiatan.
Sejumlah HPH dengan perioda kontrak 20 tahun yang telah berakhir dialihkan
kelia perusahaan kehutanan milik negara (Inhutani I – V) atau dibentuk kembali
menjadi usaha patungan antara perusahaan-perusahaan swasta dan salah satu badan
usaha milik negara.
Pada pertengahan tahun 1998, hanya 39 juta ha tetap berada ditangan pemegang
konsesi diperusahaan swasta, sedangka 14 juta ha dikelola oleh 5 perusahaan
Inhutani, 8 juta ha berada dibawah perusahaan patungan swasta dan negara, dan 8
juta ha lainnya dicanangkan sebagai wilayah non kehutanan.Pada tahun 2004,
jumlah pemegang HPH hanya tinggal 279, sekitar 107 diantaranya dinyatakan tidak
aktif. Pada tahun 2006, dengan sisa hutan produksi seluas 57.620.301,63 ha,
tercatat ada 303 perusahaan yang memliki izin IUPHHK (pengganti HPH) yang
mengusai 28 juta ha lebih.
Dari 303 IUPHHK pada tahun 2006 tersebut, hanya 149 unit yang masih aktif
dengan luasan 14.604.069 ha. Sisanya sebanyak 154 unit (diatas luasan
17.381.534 ha) dinyatakan tidak aktif. Alasan pemerintah antara lain: tidak
sehatnya perusahaan pemegang ijin, tidak profesional, rendahnya komitmen,
konflik internal dan ada pemegang izin yang hanya ingin menguasai lahan “rent
seeker”. Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi diantaranya ada
inkonsistensi antara aturan pusat dan daerah, masalah illegal logging, aspek
keamanan, tidak ada kepastian berusaha, tidak ada insentif dan tuntutan yang
berlebihan dari masyarakat setempat. Meskipun pihak perusahaan membenarkan
alasan tersebut namun mereka juga mengeluh tentang tingginya biaya produksi
akibat banyaknya pungutan dan retribusi diluar ketentuan yang berlaku yang
harus di keluarkan yang tidak sebanding dengan biaya produksinya .Pemerintah
akan melakukan lelang terhadap HPH yang tidak aktif ini untuk dijadikan kawasan
HTI. Sementara pada tahun 2007 lalu, pemerintah berencana menaikkan jatah
tebang dari 8,4 juta m3 pertahun menjadi 9,1 juta meter kubik pertahun.
Hampir seluruh hutan produksi merupakan hutan alam. Hutan produksi tanaman
terdapat di Jawa yang sebagian besar berupa hutan jati. Sejak tahun 1969
pengusahaan hutan sebagian terbesar dilakukan oleh swasta dengan sistem Hak
Pengusahaan Hutan (HPH). Dalam kurun waktu tersebut produksi rata-rata per
tahun kayu bulat adalah 26 juta meter kubik. Selama empat tahun terakhir
Repelita V produksi rata-rata per tahun kayu bulat turun menjadi 24,2 juta
meter kubik. Pada tahun 1993 jumlah HPH menjadi 579 buah dengan luas areal
konsesi 61,4 juta hektare. Untuk menjamin kelestarian hutan, para pemegang HPH
dipersya¬ratkan untuk menyusun Rencana Karya Pengusahaan Hutan selama jangka
waktu pengusahaan hutan, melaksanakan sistem tebang pilih Indonesia dan
melaksanakan pemeliharaan dan pena¬naman baru di areal yang tidak produktif
serta melaksanakan pengamanan hutan.
Selama empat tahun terakhir Repelita V dalam upaya menjaga kelestarian hutan,
para pemegang HPH dibina secara khusus melalui bimbingan dan penyuluhan agar
mampu melaksanakan berbagai kewajibannya sesuai dengan ketentuan pengusahaan
hutan (forestry agreement) yang telah disepakati bersama. HPH yang tergolong
baik telah meningkat dari 4,0 persen pada tahun 1989 menjadi 25 persen pada
tahun 1992, dan HPH yang tergolong kurang baik menurun dari 56,0 persen pada
tahun 1989 menjadi 13 persen pada tahun 1993, sedangkan HPH yang tergolong
sedang pada tahun 1989 adalah sekitar 40 persen dan meningkat menjadi 62 persen
pada tahun 1993. Tindakan penertiban dan pendisiplinan yang bersifat preventif
dan represif juga dilakukan, yaitu dalam bentuk peringatan dan sanksi denda
atau pencabutan hak.
Perkembangan industri hasil hutan berupa kayu gergajian, kayu lapis, block
board, particle board, pulpa dan beberapa komoditas lain sangat erat kaitannya
dengan jumlah pabrik dan kapasitas yang telah dibangun. Pada tahun 1993
kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang terkait dengan HPH diperkirakan
mencapai sekitar 43,20 juta meter kubik. Perkembangan industri ini sangat
bermanfaat untuk peningkatan nilai tambah, kesempatan kerja dan usaha, serta
pendapatan masyarakat dan negara. Kapasi¬tas industri pengolahan kayu telah
melampaui potensi lestari hutan. Pada tahun 1987 dalam usaha meningkatkan
penyediaan bahan baku bagi industri kehutanan, mulai dikembangkan pem¬bangunan
hutan tanaman industri (HTI) melalui pemanfaatan investasi swasta, badan usaha
milik negara (BUMN), kerja sama BUMN dan swasta, dengan mengikut sertakan
koperasi. HTI ini digolongkan ke dalam HTI pulpa, HTI kayu pertukangan dan
energi biomasa dan sebagian dari investasinya dibiayai dengan dana reboisasi.
Sampai dengan tahun 1993 telah berhasil dibangun HTI seluas 782,9 ribu hektare.
Sebagian besar HTI yang telah dibangun belum mencapai umur masak tebang. Oleh
karena itu, ketergantungan industri kehutanan terhadap produksi hutan alam,
khususnya kayu lapis dan penggergajian, tetap masih sangat besar. Pembangunan
HTI Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan
dengan program transmigrasi telah pula dimulai dalam Repelita V.
Pada tahun 1993, luas kawasan hutan alam yang masih berhutan mencapai luas 92,4
juta hektare, di antaranya adalah hutan produksi 51,7 juta hektare, dan hutan
konversi 21,6 juta hektare. Pada tahun 1993 realisasi produksi kayu bulat dari
hutan produksi tetap mencapai 25,2 juta meter kubik kayu bulat. Di samping itu
dihasilkan pula rotan 101 ribu ton dan getahan sebesar 35 ribu ton serta hasil
hutan nonkayu lainnya sebesar 21 ribu ton. Hutan rakyat dan kebun campuran juga
menghasilkan berbagai jenis kayu dan bambu yang digunakan untuk keperluan
peru¬-mahan, kayu bakar, bahan baku industri, dan lain-lain.
Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1992, investasi di bidang kehutanan
rata-rata mencapai Rp3,3 triliun per tahun. Pada tahun 1993 total investasi
swasta pada bidang kehutanan diperkirakan mencapai sekitar Rp8,4 triliun, yaitu
terdiri atas investasi industri kehutanan diperkirakan sekitar Rp0,3 triliun
dan kegiatan pembalakan (logging) sebesar Rp8,1 triliun.
Industri penggergajian merupakan industri kehutanan terbe¬sar. Walaupun
demikian produktivitas per unit industri penggerga¬jian relatif rendah, yaitu
sekitar 9 ribu meter kubik per tahun dibanding dengan kapasitas per unit
industri kayu lapis sebesar 81,7 ribu meter kubik per tahun. Pada tahun 1993
realisasi pro¬duksi kayu gergajian 4,0 juta meter kubik, kayu lapis 9,1 juta
meter kubik dan pulpa 450 ribu meter kubik.
Pada tahun 1980 kebijaksanaan larangan ekspor kayu bulat diberlakukan secara
bertahap, dan pada tahun 1985 ekspor kayu bulat tersebut dihentikan.
Kebijaksanaan ini telah menumbuhkan industri perkayuan yang pesat di dalam negeri.
Struktur ekspor hasil hutan Indonesia juga berubah dari ekspor kayu bulat
menjadi ekspor kayu olahan.
Pada tahun 1990 ekspor kayu gergajian setengah jadi dike¬nakan pajak ekspor
yang tinggi. Kebijaksanaan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kelestarian
hutan alam dan mengembangkan industri kehutanan yang menghasilkan barang jadi
di dalam negeri. Kebijaksanaan ini telah menurunkan ekspor kayu gergajian
se¬tengah jadi, tetapi telah meningkatkan industri kehutanan dalam negeri yang
mengolah bahan jadi. Industri kehutanan ini yang mencakup antara lain industri
perabot rumah tangga, komponen bangunan dan pulpa dan kertas, telah
meningkatkan kesempatan kerja dan nilai tambah ekspor hasil hutan yang berupa
barang jadi.
Pada tahun 1973 total ekspor kayu Indonesia baru mencapai 19.488 ribu meter
kubik dengan nilai sekitar US$583,9 juta, dan ekspor kayu lapis baru mencapai
sekitar US$0,1 juta. Tetapi setelah kebijaksanaan pelarangan ekspor kayu bulat
dan peningkatan pajak ekspor kayu olahan setengah jadi dilaksanakan, maka pada
tahun 1993 volume ekspor kayu lapis telah meningkat menjadi 9,6 juta meter
kubik dengan nilai sekitar US$3,487 miliar. Peningkatan ekspor hasil hutan
olahan telah menghemat sumber daya hutan per satuan nilai yang dihasilkan, di
samping telah menghasilkan manfaat nilai tambah. Kayu lapis Indonesia telah
menguasai lebih kurang 80 persen pasaran kayu tropis dunia.
Pelestarian Hutan dan Ekosistem
Pelestarian manfaat hutan alam, perluasan hutan baru yang berkualitas dan
memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi meru¬pakan upaya yang terus
ditingkatkan untuk meningkatkan peranan dan fungsi hutan dalam pelestarian
fungsi lingkungan hidup baik lingkungan lokal maupun lingkungan global. Di
samping itu, pene¬tapan kawasan lindung yang berupa hutan gambut, hutan bakau,
hutan lindung, kawasan konservasi, dan kawasan pelindung sempadan sungai dan
danau, taman nasional, terumbu karang, dan sebagainya perlu diikuti dengan
pembinaan dan pengelolaannya yang lebih baik. Pengelolaan hutan lindung,
terumbu karang, taman nasional dan kawasan konservasi alam ditingkatkan terus
agar kelestariannya terjamin dan memberi manfaat pula bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, dan ekonomi. Dalam upaya pelestarian
kawasan lindung perlu diper¬hatikan pula kepentingan masyarakat sekitarnya,
terutama dalam memperoleh manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
kebudayaan dan manfaat ekonomi dari pengembangan pariwisata.
Program Pembangunan Hutan Tanaman Baru
Program ini ditujukan untuk meningkatkan potensi hutan tanaman yang dibangun di
dalam kawasan hutan produksi. Sasaran dari program ini adalah selain untuk
meningkatkan produksi hasil hutan juga untuk meningkatkan kesempatan masyarakat
berparti¬sipasi dalam pembangunan hutan. Oleh karena itu, kegiatan utama dalam
program ini adalah membangun hutan-hutan tanaman antara lain HTI baik yang
dilaksanakan oleh perusahaan swasta besar, koperasi, pengusaha menengah dan
kecil, maupun yang dilaksana¬kan oleh rakyat. Pembangunan hutan tanaman baru
tersebut dimaksudkan untuk menambah luas kawasan yang berhutan dan tidak
merubah hutan alam menjadi hutan tanaman, sehingga kon¬versi hutan alam yang
masih utuh dan produktif dapat dihindari. Produksi kayu sebesar 13,5 juta meter
kubik akan dihasilkan dari hutan tanaman selama Repelita VI. Selama Repelita VI
pembangunan HTI direncanakan seluas 1,25 juta hektare yang terdiri dari HTI
pulpa seluas 500 ribu hektare, HTI Trans seluas 300 ribu hektare, budi daya
tanaman unggulan (meranti) seluas 450 ribu hektare. Dikembangkan pula dalam
program ini budi daya tanaman lainnya melalui hutan kemasyarakatan seperti
rotan, sutera alam, dan lain-lain disertai pembuatan kebun benih yang mema¬dai.
Keanekaragaman hayati dalam hutan tanaman baru juga ditingkatkan, melalui
pencampuran jenis yang tepat dan serasi dengan ekosistem setempat.
Kesadaran Pemerintah untuk mewujudkan kelestarian SDH sekaligus keberlanjutan
peran sosal ekonominya. Sumbangan SDH dari hutan alam terhadap pembangunan
nasional sangat signifikant selama 2 dekade (1967 – 1980-an). Sisi negatif :
banyak terjadi kerusakan hutan di sisi lain industri kayu telah dibangun
besar-besaran. Tahun 1984 di Fakultas Kehutanan IPB diadakan lokakarya “Kini
Menanam Esok Memanen” dihadiri seluruh komponen rimbawan. Kekhawatiran cukp
rasional asumsi produksi kayu hutan alam 47 juta m3/tahun, pertumbuhan industri
perkayuan nasional rata-rata 2 – 20 %, maka akan terjadi defisit bahan baku
pada tahun 1988/1989 sebesar 1,92 juta m3/tahun untuk kayu perukangan dan 0.7
juta m3/tahun untuk pulp dan kertas
Program Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Hutan
Program ini ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan baik
hasil hutan berupa kayu maupun nonkayu melalui pengembangan kesempatan kerja
dan berusaha bagi masyarakat berpenghasilan rendah melalui koperasi,. usaha
menengah, usaha kecil dan tradisional. Kegiatan utama dalam program ini
meliputi, antara lain (1) pengembangan usaha rakyat dalam mengolah hasil hutan
melalui berbagai teknologi tepat guna dan mengembangkan akses ke pasaran hasil
hutan olahan, (2) meningkatkan kemampuan teknis dan manajerial usaha pengolahan
hasil hutan rakyat melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan teknis,
manajerial, dan kepemimpinan, (3) menumbuhkembangkan koperasi usaha pengolahan
hasil hutan rakyat dan mendorong tumbuhnya kerja sama antara perusahaan swasta
besar dan BUMN kehutanan dengan koperasi usaha pengolahan hasil hutan tersebut
berdasarkan prinsip kemitraan usaha, dan (4) mengembangkan berbagai kemudahan
berusaha bagi usaha menengah, kecil dan tradisional dalam pengolahan hasil
hutan rakyat. Kegiatan¬- kegiatan tersebut dikaitkan pula dengan pengembangan
perhutanan rakyat.
Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Pengelolaan Hutan dan Pengolahan Hasil
Hutan
Dalam pengelolaan hutan alam diupayakan untuk meningkat¬kan jenis hasilnya
sehingga hutan alam dapat memberikan semua jenis hasil yang dikandungnya bagi
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan masyarakat Indonesia pada umumnya
tanpa merusak keanekaragaman jenis dan keutuhannya. Pemeliharaan kelestarian
hutan akan menjadi lebih berhasil apabila masyarakat sekitar hutan ikut serta
memeliharanya. Hal ini dapat dilaksanakan apabila masyarakat sekitar hutan ikut
menikmati hasil dari hutan tersebut, oleh karena itu masyarakat tradisional
yang tinggal di sekitar hutan diberikan hak dan kewajiban yang nyata atas
manfaat dan kelestarian hutan alam di daerahnya melalui berbagai insentif dan
disinsentif ekonomi, pembangunan solidaritas sosial, dan peraturan perundangan
yang tepat.
Bersamaan dengan itu, kawasan hutan yang rusak terus dire¬habilitasi dengan
jenis tanaman hutan bermutu tinggi yang serasi dengan fungsi lingkungan hidup,
permintaan industri perkayuan, dan dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Areal bekas tambang yang tandus dan semacamnya dikembalikan menjadi kawasan
hutan dan direhabilitasi agar menjadi hutan yang baik kembali. Semua usaha
pembinaan sumber daya hutan yang baru, peningkatan produktivitas hutan dan
peningkatan efisiensi pengolahan hasil diarahkan untuk menyerasikan kemampuan
hutan dengan perkem¬bangan industri yang semakin meningkat. Pembangunan
industri perkayuan yang efisien dan produktif serta menghasilkan hasil hutan
bermutu tinggi dan barang jadi berkualitas lebih diutama¬kan.
Untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hutan, produksi yang dipanen
dari hutan, baik dari hutan alam maupun hutan tanaman disesuaikan dengan
kemampuan hutan tersebut untuk menghasilkannya secara lestari. Kemampuan hutan
tanaman untuk menghasilkan jumlah dan mutu hasil yang lebih tinggi dan beraneka
ragam ditingkatkan melalui pemilihan jenis unggul dan pemanfaatan teknologi dan
kemampuan manajemen yang lebih baik. Dalam hubungan itu, upaya pemanfaatan
limbah pembalakan hutan, dan pengolahan hasil hutan terus ditingkatkan pula
sehingga jumlah hasil yang termanfaatkan menjadi lebih tinggi. Demikian pula
insentif untuk melaksanakan pengurusan hutan yang baik dan disinsentif untuk
mencegah sistem pembalakan yang merusak kelestarian hutan ditingkatkan. Untuk
meningkatkan efisiensi dan produktivitas dari industri pengolahan hasil hutan,
maka nilai bahan baku hasil hutan diatur sehingga mendekati harga pasar,
sedangkan bagi pemakai hasil hutan yang kurang mampu dan miskin diberikan
berbagai kemudahan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraannya dan
kemampuannya berusaha, sekaligus merupakan perangsang untuk ikut memelihara
keamanan dan kelestarian fungsi hutan.
Untuk meningkatkan penghasilan negara dari pengusahaan hutan, maka pungutan
nilai tegakan yang harus dibayar oleh pengusaha hutan ditingkatkan secara
bertahap sesuai dengan ke¬adaan harga pasar. Pungutan tersebut dilaksanakan di
hutan berda¬sarkan volume dan jumlah pohon yang ditebang, yang senantiasa harus
sesuai dengan rencana kelestarian hasil yang ditentukan.
Peningkatan Kemampuan Daerah Dalam Pengelolaan Hutan
Kelembagaan dan perangkat hukum di bidang kehutanan terus dikembangkan untuk
meningkatkan peran serta dunia usaha dan masyarakat terutama usaha menengah,
kecil dan tradisional dan masyarakat di sekitar kawasan hutan, dan pemerintah
daerah dalam pembangunan kehutanan. Sejalan dengan upaya itu ditingkatkan pula
kemampuan sumber daya manusianya serta sistem pendukungnya sehingga peranan
dunia usaha, masyarakat sekitar hutan dan pemerintah daerah dapat menjadi lebih
produktif lagi dalam upaya pelestarian hutan dan peningkatan manfaat hutan bagi
pembangunan nasional. Dalam rangka peningkatan otonomi daerah, maka semua
kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan konservasi tanah dan perhutanan rakyat
secara bertahap dilimpah¬kan tanggungjawabnya kepada pemerintah daerah tingkat
II. Koordinasi yang lebih mantap ditingkatkan antara pembangunan industri
dengan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup agar kelestarian hutan dan
pembangunan kehutanan yang berkelan¬jutan dapat mulai terwujud dalam Repelita
VI.
PERLINDUNGAN DAN PENGAMANAN HUTAN
UU no 41 no 1999 tentang kehutanan, perlindungan hutan dan kawasan hutan
merupakan usaha untuk :
1. mencegah dan membatasi kerusakan hutan , kawasan hutan, dan hasil hutan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia , ternak , kebakaran , hama , serta penyakit.
1. mempertahankan dan menjaga hak hak negara , masyarakat dan perorangan atas
hutan , kawasan hutan , hasil hutan , investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
perlindungan hutan menurut Harley dan Stikel (1956)
- perlindungan hutan merupakan bagian dari silvikultur yang membahas tentang
metoda perlindungan terhadap hutan dan berbagai faktor pengganggu/ perusak
gangguan hutan adalah setiap kejadian pada hutan yang dapat menimbulkan
kerusakan hutan
kerusakan hutan terjadinya perubahan fisik atau sifat fisiknya
urutan prosedur kerja menghadapi gangguan hutan :
1. mengetahui macam faktor pengganggu
2. mempelajari sebab sebab atau latar belakang terjadinya gangguan
3. mempelajari mekanisme atau proses terjadinya gangguan dan kerusakan
mempelajari pengaruh atau dampak dari gangguan dan kerusakan
mencari metoda metoda pengendalian gangguan hutan, sesuai dengan macam gangguan
tersebut.
Program Rehabilitasi Lahan Kritis
Rehabilitasi lahan kritis ditujukan untuk memulihkan kondisi lahan yang sudah
kritis, sehingga fungsinya meningkat baik seba-gai sumber daya pembangunan
maupun sebagai penyangga sistem kehidupan. Rehabilitasi lahan kritis ini
dilaksanakan pada kawas¬an hutan tetap yang rusak, tanah kritis pada lahan
pertanian, dan lahan kritis lainnya. Kegiatan-kegiatan operasional yang
dilaksana¬kan meliputi, antara lain (1) merehabilitasi kawasan lindung yang
kritis, (2) meningkatkan konservasi tanah pada lahan usaha tani yang kritis dan
tidak produktif, dan (3) meningkatkan peran serta masyarakat perdesaan dalam
upaya peningkatan produktivitas lahan usahanya. Diutamakan rehabilitasi lahan
kritis di daerah¬daerah yang miskin untuk meningkatkan mutu sumber daya alam
agar kesejahteraan penduduk miskin dapat ditingkatkan.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengelolaan hutan dan perlindungan hutan harus sangat diperhatikan karena hutan
mempunyai peranan yang sangat penting bagi keberlanjutan kehidupan di bumi ini,
baik segi ekologi maupun ekonomi. Bermacam-macam fungsi hutan antara lain,
penyedia sumberdaya kayu dan produk hutan lainnya, rekreasi dan pengaturan bagi
ekosistem tanah, udara dan air, tempat tumbuh berkembangnya keanekaragaman
hayati, sebagai paru-paru dunia yang mengubah gas karbon monooksida menjadi
oksigen segar yang siap dikonsumsi bagi hewan dan manusia. Dampak dari
aktivitas atau tekanan manusia terhadap hutan telah mengganggu keseimbangan
daya dukung sumberdaya hutan. Beragam jenis hutan yang mengalami penurunan
kualitas dan kuantitasnya (tegakan dan luasan) akibat eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dan Over-Harvesting, dan konversi hutan menjadi hutan
produksi atau lahan lainnya (perambahan, perkebunan, permukiman). Tetapi tekanan
aktivitas manusia terhadap hutan juga datang dari berbagai segi seperti
pembebasan lahan kehutanan untuk pembangunan infrastruktur trasportasi (jalan,
jembatan), telekomunikasi, energi listrik, perluasan lahan pertanian (misalnya
program satu juta Ha lahan gambut), pencemaran udara dan kebakaran hutan.
Pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan dengan tetap memperhatikan
fungsi hutan sebagai penghasil kayu, paru-paru dunia, konservasi kehidupan
keanekaragaman hayati dan sebagai penyeimbang ekosistem lahan, tata guna air
dan udara agar tetap berlangsung harus diusahakan. Prinsip – prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang
untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan
global secara berkelanjutan. Prinsip – prinsip ini seharusnya mewakili konsesi
pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis
hutan.
B. Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi melengkapi dan menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. 2008. Rancangan Teknis Rehabilitasi
Hutan Mangrove Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Kerjasama BBKSDA
Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest Mandiri Faperta. Medan.
Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumberdaya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta.
Departemen Kehutanan R. I. Indonesia.
Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis
Mangrove. Jakarta.
Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau
Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis). Universitas
Gajah Mada. Yogyakarta.
Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium
Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus 1995.
Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor.
http:// irwantoshut.com(diakses tanggal 17 desember 2008).